Wednesday, February 17, 2010

Cara menentukan Batimetri

Batimetri (dari bahasa Yunani: βαθυς, berarti “kedalaman”, dan μετρον, berarti “ukuran”) adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontor (contour lines) yang disebut kontor kedalaman (depth contours atau isobath), dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan.
Awalnya, batimetri mengacu kepada pengukuran kedalaman samudra. Teknik-teknik awal batimetri menggunakan tali berat terukur atau kabel yang diturunkan dari sisi kapal. Keterbatasan utama teknik ini adalah hanya dapat melakukan satu pengukuran dalam satu waktu sehingga dianggap tidak efisien. Teknik tersebut juga menjadi subjek terhadap pergerakan kapal dan arus.

Penentuan Batimetri
1. Metode Akustik
Metode akustik merupakan proses-proses pendeteksian target di laut dengan mempertimbangkan proses-proses perambatan suara; karakteristik suara (frekuensi, pulsa, intensitas); faktor lingkungan / medium; kondisi target dan lainnya. Aplikasi metode ini dibagi menjadi 2, yaitu sistem akustik pasif dan sistem akustik aktif. Salah satu aplikasi dari sistem aplikasi aktif yaitu Sonar yang digunakan untuk penentuan batimetri. Sonar (Sound Navigation And Ranging): Berupa sinyal akustik yang diemisikan dan refleksi yang diterima dari objek dalam air (seperti ikan atau kapal selam) atau dari dasar laut. Bila gelombang akustik bergerak vertikal ke dasar laut dan kembali, waktu yang diperlukan digunakan untuk mengukur kedalaman air, jika c juga diketahui (dari pengukuran langsung atau dari data temperatur, salinitas dan tekanan).Ini adalah prinsip echo-sounder yang sekarang umum digunakan oleh kapal-kapal sebagai bantuan navigasi. Echo-sounder komersil mempunyai lebar sinar 30-45o vertikal tetapi untuk aplikasi khusus (seperti pelacakan ikan atau kapal selam atau studi lanjut dasar laut) lebar sinar yang digunakan kurang 5o dan arahnya dapat divariasikan. Walaupun menunjukkan pengaruh temperatur, salinitas dan tekanan pada laju bunyi dalam air laut (1500 ms-1) relatif kecil dan sedikit perubahan pada c dapat menyebabkan kesalahan pengukuran kedalaman dan kesalahan sudut akan menambah keburukan resolusi.Teknik echo-sounding untuk menentukan kedalaman dan pemetaan dasar laut bertambah maju dengan berkembangnya peralatan sonar seperti SeaBeam dan Hydrosweep yang merupakan sistem echo-sounding multi-beam yang menentukan kedalaman air di sepanjang swath lantai laut di bawah kapal penarik, menghasilkan peta-peta batimetri yang sangat detail. Sidescan imaging system, sperti GLORIA (Geological Long Range Inclined Asdic), SeaMARC, dan TOBI (Towed Oceand Bottom Instrument) menghasilkan fotografi aerial yang sama atau citra-citra radar, menggunakan bunyi atau microwave. Echo-sounding banyak juga digunakan oleh nelayan karena ikan menghasilkan echo, dan kawanan ikan atau hewan lain dapat dikenali sebagai lapisan-lapisan sebaran dalam kolom air (Supangat, 2003).

2. Satelit Altimetri
Altimetri adalah Radar (Radio Detection and Ranging) gelombang mikro yang dapat digunakan untuk mengukur jarak vertikal antara permukaan bumi dengan wahana antariksa (satelit atau pesawat terbang). Pengukuran ini dapat menghasilkan topografi permukaan laut sehingga dapat menduga geoid laut, arus permukaan dan ketinggian gelombang. Inderaja altimetri untuk topografi permukaan laut pertama kali dikembangkan sejak peluncuran SKYLAB dengan sensor atau radiometer yang disebut S-193. Satelit altimetri yaitu : GEOS-3, SEASAT, ERS-1, dan yang terakhir yang sangat terkenal adalah TOPEX/POSEIDON. Satelit terakhir ini adalah satelit misi bersama antara Amerika Serikat (NASA) dengan Perancis (Susilo, 2000).Satelit altimetri memiliki prinsip penggambaran bentuk paras laut dimana bentuk tersebut menyerupai bentuk dasar laut dengan pertimbangan gravitasi yang mempengaruhi paras laut dan hubungan antara gravitasi dan topografi dasar laut yang bervariasi sesuai dengan wilayah. Satelit altimetri juga memberikan bentuk gambaran paras muka laut. Satelit ini mengukur tinggi paras muka laut relatif terhadap pusat massa bumi. Sistem satelit ini memiliki radar yang dapat mengukur ketinggian satelit di atas permukaan laut dan sistem tracking untuk menentukan tinggi satelit pada koordinat geosentris. Satelit Altimetri diperlengkapi dengan pemancar pulsa radar (transmiter), penerima pulsa radar yang sensitif (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, altimeter radar yang dibawa oleh satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang elektromagnetik (radar) kepermukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh satelit. Informasi utama yang ingin ditentukan dengan satelit altimetri adalah topografi dari muka laut. Hal ini dilakukan dengan mengukur ketinggian satelit di atas permukaan laut dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang dikirimkan kepermukaan laut, dan dipantulkan kembali ke satelit. (Heri Andreas dalam Hasanuddin Z A)

Daftar PustakaHasanuddin Z A. 2006. Satelit Altimetri High Tech Tool for Ocean data parameter Collection. Kelompok Keilmuan Geodesi-FTSL. Institut Teknologi Bandung.Supangat, Agus dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Susilo, Setyo Budi. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.from

Saturday, February 13, 2010

Kegagalan Bangunan Jembatan

1. Bangunan Bawah
Pondasi adalah merupakan bagian yang paling penting dari bangunan bawah struktur jembatan yang harus meneruskan beban kendaraan serta bagian-bagian diatasnya ke lapisan tanah. Kegagalan bangunan bawah (pilar atau abutmen) terjadi apabila keruntuhan atau amblasnya bangunan bawah tersebut dan atau terjadi keretakan struktural yang berpengaruh terhadap fungsi struktur bangunan atas. Kegagalan pondasi dibagi sesuai dengan jenis pondasi yaitu:

1.1 Pondasi langsung

Kegagalan pada pondasi langsung secara fisik dapat terjadi apabila struktur tersebut mengalami:

a) AMBLAS, berarti elevasi pondasi berada pada level yang lebih rendah daripada elevasi rencana.

b) MIRING, berarti posisi pondasi langsung tersebut tidak sesuai dengan posisi vertikal rencana.

c) PUNTIR, berarti terjadinya suatu amblas yang disertai posisi miring yang tidak beraturan .

1.2. Pondasi sumuran

Kegagalan pondasi sumuran secara fisik sama dengan Pondasi Langsung.

1.3 Pondasi Tiang Pancang Beton/Baja

Kegagalan pondasi tiang pancang beton/baja secara fisik dapat terjadi apabila struktur tersebut mengalami:

a) AMBLAS, berarti elevasi pondasi berada pada level yang lebih rendah daripada elevasi rencana.

b) PATAH, yaitu kondisi dimana tidak ada kesatuan antara tiang dan poor bangunan bawah yang mengakibatkan tiang pancang tidak berfungsi, atau tiang pancang beton mengalami retak struktural.

2. Bangunan Atas
Kegagalan Bangunan Atas Jembatan dapat dibagi sesuai dengan jenis bangunan atas yaitu:

2.1 Retak Struktural

Unsur retak akan mempengaruhi kekuatan struktur adalah lebarnya dan kedalaman retak yang terjadi. Lebar retak yang berlebihan, disamping akan secara langsung mengurangi kekuatan struktur juga akan memberikan peluang udara dan air yang akan mengakibatkan terjadinya korosi yang pada akhirnya juga mengurangi kekuatan struktrur. Maka oleh karena itu lebar maksimum dan kedalaman retak harus dibatasi. Besarnya kedalaman maksimum retak yang diizinkan adalah proporsional dengan tebal struktur itu sendiri.

2.2 Lendutan

Lendutan yang berlebihan, disamping akan mempengaruhi kekuatan struktur juga mempunyai dampak psikologis bagi sipengendara. Besarnya lendutan maksimum yang diizinkan adalah proporsional dengan bentang jembatan yang bersangkutan.

2.3 Getaran/Goyangan

Amplitudo getaran harus dibatasi sedemikian rupa, baik akibat angin maupun pergerakan lalu lintas disamping sehingga masih memenuhi persyaratan baik dari segi stabilitas struktur maupun dari dari kenyamanan sipengendara. Besarnya amplitudo getaran maksimum yang diizinkan adalah proporsional dengan bentang jembatan yang bersangkutan.

2.4 Kerusakan Lantai Kendaraan

Kerusakan lantai kendaran berupa retak, terkelupas dan atau pecah akan berpengaruh secara langsung terhadap riding quality lantai kendaraan yang menyebabkan kenyaman sipengendara akan berkurang. Maka. luas kerusakan dibatasi tidak boleh melebihi angka yang dipersyaratkan yaitu persentase luas yang rusak terhadap suatu luas segmen yang ditinjau.

2.5 Tumpuan (Bearing)

Kerusakan tumpuan pada derajat tertentu akan mempengaruhi sistem pendukungan tumpuan terhadap beban yang pada akhirnya sistem distribusi beban berubah. Oleh sebab itu tingkat kerusakan tumpuan ini harus dibatasi sehinga tidak sampai merubah sistem pembebanan original. Besarnya tingkat kerusakan maksimum yang diizinkan tergantung dari jenis tumpuan itu sendiri.

2.6 Expansion Joint

Kerusakan expansion joint yang berupa robek atau terkelupasnya joint sealantnya tidak terlalu berpengaruh terhadap kekuatan struktur. Namun akan sangat berbahaya jika lubang yang yang terjadi cukup besar yang dapat mengakibatkan bahaya bagi kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu tingkat kerusakan expansion joint ini harus sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kepada pengendara kendaraan.

Kegagalan Bangunan Jalan

1. Geoteknik

Kegiatan di bidang geoteknik mencakup mulai dari pemilihan trace jalan, penyiapan badan jalan, timbunan, galian sampai pada penyiapan tanah dasar (subgrade). Dengan demikian kegagalan di bidang ini dapat berupa : (a) Longsoran badan jalan sebagai akibat salah pemilihan trase jalan pada daerah yang labil dari segi geologi, (b) Longsoran lereng timbunan (embankment slope), (c) Longsoran tebing galian (cutting slope), (d) Penurunan atau kegagalan daya dukung tanah dasar, (e) dan sebagainya.

2. Geometrik

Kegiatan di bidang geometrik mencakup perencanaan alinyemen baik vertikal maupun horizontal. Semua besaran dari elemen elemen geometrik sangat tergantung dari kelas jalan tersebut yang akan mempengaruhi besaran kecepatan rencana (design speed). Dengan demikian kegagalan di bidang ini dapat berupa : (a) Lebar lajur lalu lintas yang terlalu sempit, (b) Jari jari tikungan yang terlalu kecil, (c) Jarak pandang (henti dan menyiap) terlalu pendek, (d) Superelevasi yang tidak memadai, (e) Landai kritis yang terlalu besar, (f) Cross fall yang tidak memenuhi syarat, (g) Bahu yang terlalu sempit, (e) dan sebagainya..

3. Perkerasan

Kegiatan di bidang perkerasan mencakup mulai dari pemilihan bahan lapis pondasi bawah, lapis pondasi atas dan lapis penutup (sub base, base and wearing course), juga mencakup perhitungan tebal perkerasan (tebal masing masing lapisan) berdasarkan perkiraan beban rencana untuk suatu umur rencana tertentu. Dengan demikian kegagalan di bidang ini dapat berupa : (a) Stripping, (b) Differential settlement, (c) Pothole, (d) Permanent deformation, (e) Cracks, (f) Polishing, (g) Rutting, (h) dan sebagainya. Besaran dari semua faktor diatas adalah mutu dari permukaan jalan (riding quality) dalam bentuk parameter “Kekasaran” (Roughness) dan “Kekesatan” (Skid Resistance).

4. Drainase dan Perlengkapan Jalan

Kegiatan di bidang drainase dan meliputi pembuatan saluran samping, gorong gorong, guide post, guard rail, rambu lalu-lintas dll. Dengan demikian kegagalan bangunan di bidang ini dapat berupa : (a) Saluran samping tidak mampu memuat debit air sehingga jalan terendam air untuk suatu perioda tertentu, (b) Gorong gorong terlalu kecil sehingga air melimpas lewat perkerasan (c) Guard rail yang tidak memadai atau tidak ada pada tempat yang membutuhkan, (d) Guide post yang tidak memadai atau tidak pada tempat yang membutuhkan, (e) Rambu lalu lintas yang tidak memadai baik dari segi jumlah maupun dari segi ketepatan jenis rambu lalu lintas yang dibutuhkan, (f) dan sebagainya.

Saturday, February 6, 2010

Berita PU Net : Program 100 Hari Kementerian PU Atasi Bottleneck Pembangunan Infrastruktur

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan penyelesaian program 100 di Kementerian Pekerjaan Umum menjadi modal awal yang baik bagi Kementerian ini untuk mencapai target program pembangunan tahun 2014. Demikian disampaikannya dalam Jumpa Pers di Ruang Sapta Taruna, Gedung Pekerjaan Umum yang juga dihadiri oleh pejabat di lingkungan Kementerian PU, Jakarta (21/1).

Progres pencapaian program 100 hari Kementerian PU, tambah Wakil Menteri PU Hermanto Dardak diatas 95 persen dan diharapan pada hari ke-100, sudah mencapai 100 persen. “Program diarahkan untuk mengatasi sumbatan (debottlenecking) baik pembenahan aturan seperti aturan pengadaan tanah maupun debottlenecking fisik seperti peningkatan kapasitas jalan sepanjang 695 Km yang telah diselesaikan” kata Hermanto Dardak.

Kementerian Pekerjaan Umum menjalankan 6 program baik fisik dan non fisik di bidang Pekerjaan Umum dalam rangka program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II. Keenam program tersebut adalah :

Program pertama,
peningkatan kesehatan lingkungan berupa pembangunan sarana air minum di 1.379 lokasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan dana sebesar Rp762 miliar. Mayoritas pembangunannya dilakukan sendiri oleh kelompok masyarakat sementara sisanya menggunakan jasa kontraktor. Selain itu juga dilakukan pembangunan sanitasi berbasis masyarakat di 61 lokasi dengan dana di tiap lokasi sebesar Rp 300 juta

Program kedua yang telah diselesaikan Kementerian PU dalam 100 hari adalah Penyelesaian audit teknis untuk pengembalian dan pemastian fungsi embung, waduk, bendung dan bendungan, serta jaringan irigasi secara holistik dan terintegrasi. Dari hasil audit terhadap 109 bendungan didapatkan hasil 52 bendungan dalam keadaan baik, rusak ringan 24, rusak sedang 30 dan rusak berat 3 buah bendungan.
Tiga waduk yang rusak berat adalah waduk Tempuran, Cipancuh dan Telogo Pasir, yang berada di Pulau Jawa. Waduk tersebut akan segera dilakukan percepatan perbaikan konstruksi, penghijauan, dan peningkatan SDM petugas operasi dan pemeliharaan.

Program ketiga adalah membentuk tim penyiapan prasarana penghubung Jawa-Sumatera yang bertugas melakukan studi kelayakan. Keppres pembentukan tim ini telah ditandatangani Presiden dimana Menko Perekonomian menjabat sebagai Ketua tim, Menkopolhukan menjadi Wakil Ketua dan Menteri PU sebagai Ketua Pelaksana Harian.

Program keempat yakni peningkatan kapasitas jalan lintas di Sumatera dan Sulawesi sepanjang 695 km dengan biaya sebesar Rp 2,8 triliun. Menurut Wakil Menteri PU yang juga menjabat Dirjen Bina Marga Hermanto Dardak, bisa mendorong pemenuhan target Kementerian PU 5 tahun kedepan untuk meningkatkan pembangunan jalan prioritas sepanjang 19.370 KM di lintas Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Program kelima yakni penyelesaian struktur penampang basah prasarana pengendalian banjir, banjir kanal timur (BKT) Jakarta sehingga dapat mengalirkan air. Saat ini BKT sudah bisa berfungsi meski belum sepenuhnya selesai karena ada permasalahan tanah di 4 lokasi. Masalah tanah ini membuat lebar saluran belum mencapai lebar desain, namun ditegaskan Hermanto Dardak, saluran yang ada tetap dapat menampung aliran air sungai yang masuk.

Program keenam,
program 100 hari yang sudah diselesaikan adalah sosialisasi dan bantuan PNPM mandiri dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi rumah di Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Disamping menjalankan 6 program yang langsung dibawah tanggung jawabnya, Kementerian PU juga memberikan dukungan terhadap program yang melibatkan instansi lain seperti peningkatan hunian Rusunawa yang sudah dibangun namun belum dihuni, ditargetkan 80 persen sudah bisa dihuni.